Pengemis yang Membuatku Menangis
Kakek itu terkesiap. Matanya berbinar menyaksikan
pemandangan langka di depannya. Tangan keriputnya bergetar tak percaya. Kaleng
bekas susu berisi recehan koin dan ribuan, tiba-tiba bersanding manis dengan
lembaran kehijauan. Lalu ia menatapku. Lama. Membuatku malu. Salah tingkah!
"Maaf Kek, cuma ada segitu!"
Ucapku menekan rasa tak enak dipandangi seperti itu. Berharap dia
cepat
berlalu. Sehingga tak membaui dusta yang melumuri mulut ini; menyembunyikan
keberadaan kertas bergambar Soekarno dan I Gusti Ngurai Rai di laci lemari.
Entah kenapa, kalau tanggal muda begini,
uang ribuan mendadak langka karena habis untuk kembalian pembayaran pulsa yang
menjadi usaha sampinganku. Celakanya, pengemis seperti kakek ini, yang biasa
bergerilya di kompleks kami, jumlahnya bisa mencapai 2x lipat dari biasanya!
Kadang berikut teman 'seperjuangan' mereka; seniman buta, pengamen brondong,
atau ibu-ibu peminta sumbangan dari mesjid anu, atau rumah yatim itu! Topeng
monyet pun tak mau ketinggalan, ikut-ikutan ingin menikmati wanginya hari
gajian! Jadi harus punya banyak stok uang logam dan recehan.
Kakek tua itu masih berdiri di depanku.
Senyum tersungging dari bibir hitamnya yang kering. Menengadahkan tangan. Suara
halus penuh khidmat pun meluncur. Untaian doa. Panjaaaaaaaang sekali! Membuatku
sibuk mengamini dalam hati.
Begitu selesai, dia mengucapkan terima
kasih berulang-ulang. Sebelum berlalu, sempat kulihat matanya berkaca-kaca.
Mungkin terharu. Juga senang bukan kepalang. Tak menyangka ada yang berkenan
memberi uang sebesar itu.
Padahal hanya dua puluh ribu. Tapi doa
yang ia panjatkan untukku melebar ke mana-mana. Tak cuma buat suami dan anakku,
tetangga kanan-kiri juga kecipratan doanya. Bahkan orang tua dan saudaraku yang
berada di luar Pulau Jawa ikut dibawa serta! Uang yang awalnya kupikir terlalu
banyak untuk kelas peminta-minta seperti dia!
Aku memandang halaman yang belum selesai
kusapu. Berikut rumah yang berdiri tegak di belakangku, rumah kami yang baru
selesai direnovasi. Lantai granit di bagian terasnya. Aplikasi water wall
menghias di sisi kanannya, berikut kolam ikan mini dengan percikan air yang
menyejukkan telinga.
Aku terpaku. Rumah yang nyaman. Rejeki dan usaha yang
selalu dimudahkan. Suami yang baik serta putri yang sehat dan cantik. Kurang
apalagi? Kenapa aku begitu pelit berbagi? Nikmat yang Allah beri lebih dari dua
puluh ribu. Dan doa setelah shalatku selama ini justru malah lebih kilat dibanding
doa kakek tua itu!
Astaghfirullah...! Kembali memandang ke ujung
jalan. Rubuh renta itu hampir menghilang di tikungan. Meninggalkanku yang masih
termangu sendirian. Menangis!
~ Fabiayyi aalaa i robbikuma tukadzzibaan?
*****
Komentar
Posting Komentar
Komen aja, jangan malu-malu! ^_^